CewekBanget.ID - Perkosaan merupakan kasus kekerasan seksual serius dan pelakunya harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Sayangnya, bahkan hingga saat ini masih banyak asumsi dan pendapat masyarakat yang cenderung menyalahkan korban karena enggak menghindar maupun melawan dari serangan pelaku kekerasan seksual, dan menganggap korban enggak menolak hubungan seksual yang enggak dimintanya itu.
Biasanya orang-orang membayangkan korban akan selalu bisa menjerit, meronta, atau melakukan usaha apapun supaya pelaku enggak bisa mendekatinya dan melancarkan aksi perkosaan, padahal kenyataannya enggak semudah itu karena banyak korban yang mengalami tonic immobility atau kelumpuhan sementara saat diserang.
Baca Juga: Terungkap, Ini Alasan Korban Kekerasan Seksual Memilih Bungkam!
Nah, memangnya tonic immobility itu apa dan bagaimana, sih?
Tentang Tonic Immobility
Hasil riset tim peneliti dari Swedia membuahkan temuan tentang tonic immobility, yang mematahkan salah satu mitos perkosaan bahwa sebuah kasus enggak dapat disebut sebagai perkosaan apabila korban enggak melawan saat diserang dan hubungan seksual terjadi.
Tonic immobility adalah gejala kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan ketika mereka diserang pelaku, dan ditemukan oleh Dr. Anna Moller, salah satu peneliti yang terlibat dalam riset tersebut.
Dilansir dari LiveScience, menurut Moller, kelumpuhan sementara yang dialami korban perkosaan tersebut merupakan reaksi defensif dari tubuh yang bersifat alami dan biasanya timbul di bawah ketakutan yang luar biasa.
Riset Moller dan tim peneliti juga menunjukkan bahwa kelumpuhan sementara ini mirip dengan kondisi katatonia atau keadaan ketika seseorang enggak bisa bergerak, berbicara, dan merespon apa pun yang diterima tubuhnya.
Kelumpuhan hingga Depresi
Menurut Arkansas Coalition Against Sexual Assault (ACASA), tonic immobility atau kelumpuhan sementara yang dialami sebagian korban perkosaan berhubungan dengan aktivasi hormon tertentu, salah satunya corticostereoid yang mengambil peran besar dalam mereduksi energi yang mereka miliki.
Makanya, pada sebagian kasus, tubuh korban kaku sepenuhnya dan mereka enggak bisa melawan.
Selain kelumpuhan sementara, Moller dan tim juga menemukan potensi depresi akut hingga gangguan stres pascatrauma (post-trauma stress disorder; PTSD) yang lebih besar pada korban perkosaan yang mengalami tonic immobility dibanding mereka yang enggak mengalaminya.
Baca Juga: 5 Penjelasan Tentang Pelecehan Seksual dan Perkosaan yang Wajib DIketahui!
Menghadapi Stigma
Sayangnya, banyak korban yang enggak menyadari bahwa kelumpuhan sementara bersifat alami dan spontan sehingga mereka cenderung menyalahkan diri sendiri dan enggan melapor kepada orang terdekat atau pihak berwajib.
Parahnya lagi, berbagai pertanyaan seperti, "Kenapa enggak menghindar?" atau, "Kok, enggak kamu lawan saja?" masih sering dilontarkan saat korban sudah berinisiatif melaporkan kejadian yang mereka alami.
Akhirnya, korban justru disalahkan karena dianggap memberi celah kepada pelaku untuk melancarkan aksinya.
Hal tersebut ironis, mengingat bahwa dari penelitian Moller dan tim, ditemukan 7 dari 10 perempuan korban perkosaan yang mereka teliti merasakan kelumpuhan sementara saat kejadian.
Baca Juga: 3 Pemahaman yang Salah Soal Kasus Perkosaan dan Kenapa Selalu Perempuan yang Disalahkan
Selain penelitian dari Swedia, banyak penelitian dari negara-negara lain dengan rentang waktu yang berbeda menunjukkan fenomena serupa, meski hasil temuan mereka belum disosialisasikan secara umum kepada masyarakat.
Akibatnya, stigma dan upaya menyalahkan korban masih terus berlangsung dan dianggap lumrah.
Nah, kalau ada di antara kita yang pernah mengalami hal tersebut, laporkan ke pihak berwajib atau konsultasi ke berbagai komunitas konseling, penyintas, dan lembaga bantuan hukum (LBH) terdekat, atau hubungi melalui kontak:
Ingat kalau kita enggak sendirian dan sebaiknya selalu saling mendukung ya, girls.
(*)
Penulis | : | Salsabila Putri Pertiwi |
Editor | : | Indah Permata Sari |
KOMENTAR