Aku benci panggilan 'cucu nenek' yang dialamatkan padaku. Apalagi, bila diucapkan oleh Ratri dan kelompoknya. Lebih-lebih, bila diucapkan di depan Kak Satria, kakak kelas 11, yang ganteng dan diam-diam kuidolakan. Seperti yang terjadi sore ini. Saat latihan tim vokal grup untuk perlombaan antar SMU se-Jakarta selesai kuikuti.
"Hai, Kanti. Penampilan kalian keren, deh! Apalagi waktu kamu nyanyi sendiri."
Aku mengangkat kepalaku cepat. Sedikit berdebar begitu mengetahui pemilik suara itu adalah Kak Satria. Aku lihat, Kak Satria masih mengenakan baju olahraga. Pasti ia baru saja selesai latihan basket dengan teman-temannya. Rambut dan bajunya basah oleh keringat. Tapi, herannya, tidak tercium bau badan dari tubuh atletisnya. Aku justru mencium wangi cologne lembut yang samar-samar mampir di hidungku.
"Terima kasih, Kak. Kakak juga keren setiap main basket ..." Ups, tiba-tiba, aku sadar sudah keceplosan bicara. Pasti, Kak Satria langsung berpikir aku diam-diam suka memperhatikan dirinya. Aaah, malunya aku! Padahal, sih, memang iya!
Kak Satria tersenyum. Aku cepat-cepat menunduk, menyembunyikan wajahku yang pastinya sudah berubah warna seperti kepiting rebus.
"Eh, Kanti, rumah kita, kan, searah. Pulang bareng, ya?"
Aku terpana. Mimpi apa aku semalam, sampai-sampai cowok paling ganteng di sekolah ini mengajakku pulang bareng? Lewat ekor mataku, bisa kulihat Ratri yang berjalan menghampiri kami. Dua sahabatnya, Viny dan Dina, mengekor di belakangnya. Wajah Ratri segera menunjukkan rasa tidak suka begitu melihat Kak Satria yang sedang berbicara denganku.
Belum sempat aku menjawab tawaran Kak Satria, Ratri sudah bergabung di antara kami.
"Ayo, pulang, Kak! Sudah sore, nanti macet," serunya manja, sambil merangkul lengan Kak Satria.
"Eh, kamu sudah siap, Ri? Aku baru ingat, rumah Kanti, kan, searah. Kita pulang bareng, saja."
Wajah Ratri memerah. "Kakak apaan, sih? Kanti itu cucu nenek. Ia pasti pulang dijemput neneknya! Lagian, mobilnya, kan, penuh barang. Viny dan Dina juga ikut. Jadi sudah enggak muat lagi."
Aku seakan baru disadarkan, dua makhluk berbeda jenis dan sifat seperti bumi dan langit di hadapanku ini adalah kakak beradik. Yang satu idolaku. Yang satunya lagi rivalku. Oh, oh, mengapa Ratri tidak memiliki sifat seperti kakaknya yang baik hati dan ramah itu? Mengapa ia begitu sulit tersenyum dan sering bersikap tidak menyenangkan terhadapku? Padahal, sudah hampir satu tahun kami bersama di tim vokal grup sekolah.
"Ah, masih muat, kok. Lagian Kanti, kan, mungil. Jadi, enggak akan banyak menghabiskan tempat," Kak Satria masih mencoba mengajakku.
"Kakak...!"
Aku cukup tahu diri, dan menyadari Ratri tidak menghendaki keberadaanku bersama mereka. "Eh, Ratri benar, Kak Satria. Aku pulang dijemput Nenek. Sebentar lagi juga datang."
Kak Satria menghela napas. "Benar nenek kamu sebentar lagi datang? Sekolah sudah mulai sepi, lho!"
Aku buru-buru mengangguk meyakinkan. Lalu, setelah sekali lagi memandangku dengan tatapan tidak yakin, Kak Satria pun berlalu bersama ketiga gadis di sekelilingnya. Meninggalkan bayangan panjang tubuhnya di lapangan sekolah yang luas.
*
Sebenarnya, aku sangat menyadari, kalau Nenek itu asyik dan unik. Bayangkan saja, di usianya yang menjelang 60 tahun, Nenek masih terampil dan lincah menyetir mobil-mengantar jemputku ke sekolah. Sudah tidak terhitung omelan dan larangan Mama, yang menyuruhku mandiri naik angkutan umum dan tidak merepotkan Nenek lagi. Namun, Nenek selalu berhasil membujuk Mama untuk membiarkannya melakukan pekerjaan yang disukainya itu.
Nah, sebagai cucu satu-satunya, jelas aku sangat menikmati perhatian dan kasih sayang Nenek yang berlimpah-limpah. Tidak hanya mengantar jemputku sekolah, Nenek juga selalu memasakkan makanan yang enak-enak untukku. Membuatkan aksesori dari kain flannel dan benang sulam-seperti bros yang lucu dan bandana cantik-untuk bisa kupakai ke sekolah dan mempermanis penampilanku. Tidak jarang, aku pun ikut terlibat dalam proses pembuatannya. Rasanya, waktu bersama Nenek penuh terisi dengan hal-hal yang menyenangkan.
Aku memang cucu Nenek. Bahkan mungkin lebih seperti 'anak' Nenek. Karena, sejak Papa meninggal dan Mama sibuk bekerja di kantor, aku jadi banyak menghabiskan waktu bersama Nenek. Itulah yang selalu menjadi bahan olokan teman-temanku di sekolah.
Awalnya, aku tidak terlalu ambil pusing. Tapi, sejak aku mulai tertarik pada Kak Satria, panggilan 'cucu nenek' terasa seperti stempel buruk yang menempel di dahiku. Walau berat mengakuinya, aku mulai merasa malu dengan keberadaan Nenek di sekitarku.
"Kanti, temani Nenek ke pasar, yuk? Nenek mau membeli kain flannel dan benang sulam lagi," kepala Nenek mengintip dari pintu kamarku yang terbuka. Aku yang sedang membaca novel sambil tiduran di tempat tidur menoleh malas ke Nenek. Duh, satu lagi kegiatan 'orangtua' yang harus kukerjakan. Karena, biasanya, Nenek akan mulai menyuruhku mengerjakan jahitan flannel yang sederhana.
"Menjahit itu suatu keterampilan. Sama seperti memasak. Nanti, kamu pasti akan merasakan manfaatnya," begitu selalu kata-kata Nenek setiap berhasil membujukku membantunya menjahit. Tapi, kali ini, aku memutuskan untuk mulai mengurangi aktivitas 'cucu nenek' ini.
"Kanti capek, Nek. Agak pusing." Hatiku seperti dicubit, menyadari aku sudah berani berbohong kepada Nenek. Wajah Nenek langsung terlihat khawatir. Ia bergegas menghampiriku di tempat tidur, lalu memegang keningku.
"Kamu terlalu capek latihan, mungkin. Ya sudah, istirahat saja yang banyak. Jangan baca novel dulu."
Saat Nenek berlalu-meninggalkan segelas susu cokelat hangat di samping tempat tidurku, aku merasa buruk sekali. Dan sebelum sempat kutahan, setitik air mata jatuh membasahi bantalku.
*
"Kamu boleh ikut, dengan satu syarat: tidak ada orangtua!" suara Ratri terdengar penuh tekanan. Aku menelan ludah, sedikit gusar dengan sikapnya. Tim vokal grup berencana pergi ke mal untuk mencari aksesori pelengkap kostum lomba kami. Hari pertandingan tinggal lima hari lagi, dan kami semua ingin tampil cantik dan maksimal.
"Iya, Kanti. Enggak seru, lagi, kalau jalan-jalan ada orangtua. Apalagi kalau ada nenek kamu! Apa kata dunia?" Dina menimpali ucapan sahabatnya.
Aku merasakan wajahku memerah. "Tentu saja aku tidak akan mengajak Nenek. Memangnya aku anak kecil?" Lalu, segera kutelepon Nenek agar tidak usah menjemputku.
"Kanti mau ke mal bareng teman-teman, Nek. Jadi, nanti Kanti pulang terlambat, ya."
"Apa perlu Nenek temani?"
"Enggaaak! Enggak perlu, Nek! Kanti pulang sendiri saja. Sudah, ya, Nek!" segera kututup telepon sebelum Nenek sempat berbicara lagi. Hatiku agak murung, memikirkan Nenek yang mungkin kaget mendengar nada suaraku yang meninggi. Tapi, apa boleh buat. Sebenarnya, jalan-jalan bersama Nenek tidaklah terlalu buruk. Nenek suka menraktir makan di restoran favorit kami. Bahkan, bila ada temanku yang kebetulan bertemu, Nenek tidak segan untuk menraktirnya juga.
Setelah aku memastikan Nenek tidak menemaniku, Ratri dan teman-teman yang lain tersenyum penuh kemenangan. Sementara itu, hatiku bergejolak. Ah, kalau memang pergi bersama gadis-gadis ini adalah hal yang kuinginkan, mengapa aku merasa sedih dan tidak senang?
Jadilah, siang menjelang sore itu aku lewati dengan banyak berdiam diri. Sedikit menyesali keputusanku ikut dengan mereka, karena selama hampir dua jam kami hanya berputar-putar tidak karuan mengelilingi mal yang luas tanpa menemukan barang yang kami cari.
"Sebenarnya kita mau mencari bros yang seperti apa, sih?" tanyaku mulai tidak sabar. Sudah beberapa kios bros yang kami masuki, namun tidak ada yang menarik hati gadis-gadis itu. Ada saja kekurangan bros-bros itu. Kalau tidak ukurannya yang terlalu kecil, pasti terlalu besar. Ada yang ukurannya cocok, harganya terlalu mahal.
Ratri menatapku sambil cemberut. "Gaun kita nanti, kan, sifon putih, aku ingin kita memakai bros mawar merah yang cantik. Mawar yang mekar, penuh dengan kelopak. Tidak perlu tambahan hiasan macam-macam. Selembar daun tidak apa-apa. Yang terpenting, ukurannya jangan terlalu kecil. Seperti...."
"Eh, seperti ini!" Viny memekik girang begitu melihat sembulan bros mawar pink yang tersembunyi di depan tasku.
Mata Ratri membulat melihatnya. "Dari mana kamu dapatkan bros ini? Ini persis seperti yang aku bayangkan!"
Aku mengerutkan kening. "Ini? Nenekku yang membuatnya dari kain flannel."
Gadis-gadis itu saling menatap. Lalu, mata Ratri terlihat bersinar. "Kalau begitu, kita beruntung, dong! Minta nenekmu membuatkan yang seperti itu untuk kita semua, ya?"
Aku terhenyak. Dua jam berputar-putar dan tidak mendapatkan apa-apa, kecuali kenyataan barang yang mereka cari ada pada buatan tangan nenekku. Aku memeras otak, memikirkan bagaimana cara menyampaikan maksud kami ini kepada Nenek.
*
"Tentu saja, Cantik! Nenek akan membuatkan untukmu dan teman-temanmu!" wajah Nenek terlihat cerah dan gembira. Aku menghembuskan napas lega. Kupikir, Nenek akan marah padaku yang sudah terus menerus menghindari Nenek akhir-akhir ini.
"Terima kasih, Nek! Nenek tidak marah sama Kanti?" aku menatap Nenek sedikit malu.
Nenek tersenyum sambil mengelus kepalaku lembut. "Tentu saja tidak, Sayang! Terkadang, Nenek lupa, kamu sudah bukan anak kecil lagi. Maafkan Nenek yang terlalu mengkhawatirkanmu, hingga mengabaikan bahwa kamu pun memiliki duniamu sendiri."
Aku memeluk Nenek erat. "Nenek enggak salah. Maafkan Kanti yang selalu merepotkan Nenek. Kanti sayang sekali sama Nenek."
Ah, bendera perdamaian yang telah berkibar di antara aku dan Nenek, membuatku tenang menghadapi perlombaan yang tinggal beberapa hari saja.
*
Hari itu akhirnya tiba. Tiga puluh menit menjelang lomba dimulai, Ratri datang dengan berurai air mata. Sebelumnya, kami sudah khawatir mengapa Ratri belum sampai juga, sementara kami mendapat urutan kedua untuk tampil. Aku lihat, Kak Satria ikut menemani Ratri.
"Ada apa, Ratri?" Viny berseru panik. Sementara, yang lain mengerumuni Ratri, aku berdiri tidak terlalu dekat di belakang mereka.
Sambil menahan isakan, Ratri menunjukkan bagian bawah gaunnya. Kami semua terbelalak menyaksikan robekan panjang di bagian samping yang membelah gaun putih indah itu.
"Karena terburu-buru, gaun Ratri terjepit di pintu mobil ketika mau turun tadi," Kak Satria menjelaskan.
Seorang ibu panitia lomba menghampiri kami. "Ada apa? Kalian harus sudah siap di belakang panggung sekarang."
Kak Satria menjelaskan masalah yang kami hadapi, dan ibu itu mengerutkan keningnya. "Panitia menyediakan alat menjahit di ruang panitia. Coba ke sana, dan selesaikan masalah kalian," sarannya cepat.
Ruang panitia penuh dengan orang. Aku berinisiatif mencari jarum jahit dan benang, dan berniat menjahit sendiri rok Ratri yang robek.
"Eh, kamu mau apa?" protes Ratri melihatku yang mendekat dengan jarum jahit di tangan.
"Menjahit rokmu. Kecuali kamu ingin menjahitnya sendiri, atau menemukan orang lain yang bisa menjahitkan untukmu."
Ratri menatapku marah. Namun, ia tidak mempunyai pilihan lain selain membiarkanku menyentuh gaunnya. Tanpa banyak bicara, aku menjahit robekan panjang pada roknya dengan jahitan kecil yang rapi. Sebentar saja, robekan itu nyaris tidak terlihat. Dan Ratri benar, bros mawar merah berdaun hijau yang tersemai di dada kami menjadi pusat perhatian yang manis dari seluruh penampilan kami.
"Bagus. Rapi." Kak Satria memujiku sambil tersenyum. "Siapa yang mengajarimu?"
"Nenek," jawabku singkat sambil memutuskan benang jahitanku. "Selesai."
Wajah-wajah tegang berubah ceria dengan segera. Termasuk Ratri. Walau, kupikir, ia masih terlalu tinggi hati untuk sekadar mengucapkan terima kasih padaku.
"Terima kasih, Kanti," Kak Satria berbicara sambil menyenggol adiknya. Muka Ratri memerah kaku. "Thanks," ucapnya singkat. Aku tersenyum pada keduanya.
"Asyik, ya, punya nenek yang baik dan perhatian. Nenekku sudah lama terkena stroke. Karena penyakitnya itu, ia jadi suka marah-marah." Bisik Ratri saat kami semua berjalan menuju belakang panggung. Aku terpana, menatap Ratri yang terlihat sedikit gelisah dan malu. Nenek tidak pernah marah padaku. Bahkan, ia selalu membantuku setiap ada kesulitan. Detik itu juga kusadari, betapa beruntungnya aku memiliki Nenek di hidupku.
"Nenekmu pasti perempuan hebat. Aku bisa melihatnya pada cucunya ini." Kak Satria menjejeri langkahku sambil tersenyum. Aaah, baru kali ini sebutan cucu nenek terdengar indah di telingaku. Sungguh!
*
(oleh: yulina trihaningsih, foto: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR