Ia terus berjuang melawan agresi panas mentari dan gravitasi bumi. Detik-detik kulminasi berlangsung sakral. Matahari semakin sangar. Langit tak menyisakan ruang untuk awan apalagi hujan. Matahari dan bumi seakan saling memelototi. Dan tepat pukul 11 lebih 51 menit, bayangan lenyap seketika. Kulminasi terjadi. Semua orang bersorak.
Matahari bertatap muka secara intim dengan bumi. Matahari menatap Rian tajam sekali. Panas, panas, panas! Sistem tubuh Rian tak sanggup lagi. Bayangan wajah Naisha muncul sekilas seperti fatamorgana. Rian seakan melayang. Masa tubuhnya tereduksi. Ia tak sanggup lagi melawan gravitasi bumi.
* * *
Naisha berjalan tergesa-gesa. Lorong rumah sakit bisa dilewatinya dalam sekejap mata. Langkahnya tertuju pada sebuah kamar inap di ujung sana. Naisha sudah berada di depan pintu. Seraya mengucapkan salam, ia membuka pintu.
Terlihat Rian tengah berbaring ditemani sang ibu. Matanya tampak masih tertutup. Sepertinya ia belum sadarkan diri.
"Oh, kamu sudah datang. Kamu Naisha, kan?" tanya ibu Rian ramah.
"I...iya," jawab Naisha cemas. Pandangannya masih tertuju pada Rian yang masih terlelap.
"Tidak apa, kamu enggak usah khawatir. Sebentar lagi Rian siuman, kok," ucap sang ibu tenang. "Maaf ya tadi ibu nelpon kamu. Tadi sepertinya Rian mau nelpon kamu tapi ia keburu pingsan duluan. Kalian udah janjian, ya?"
Naisha melongo. Ia lalu tersipu malu.
"Maafin Rian, ya! Rian itu memang anak yang ceroboh. Ia tak pernah peduli dengan kondisi badannya. Padahal, dia kan sedang sakit."
"Sakit?" Naisha terkaget.
"Iya, sakit. Seharusnya ibu sudah bilang pada pihak sekolah, tapi Rian menolak dan meminta ibu memberinya waktu."
"Emang Rian sakit apa, Bu?"
"Rian terkena kanker."
"Kanker?" Naisha terkejut luar biasa.
"Ya, Rian terkena kanker. Ia terkena kanker otak. Makanya dia suka pusing kalo kelamaan kena sinar matahari. Tapi tak apa, kankernya masih belum parah dan masih bisa diobati."
Naisha tak percaya dengan apa yang didengarnya. Rian sakit? Seperti kulminasi yang tidak mungkin terjadi di malam hari, apa yang baru dikatakan ibu Rian pasti tidak benar-benar terjadi. Rian memang agak beda. Daya tahan tubuhnya memang lebih lemah dari orang kebanyakan, tapi itu tak bisa dijadikan patokan. Kanker ganas tak mungkin diidapnya. Mungkin itu cuma karena faktor cuaca.
Ia berharap ibu Rian segera meralat ucapannya. Tapi itu cuma sekedar angan saja. Naisha tak tahu harus bersikap bagaimana. Ini terlalu sulit untuk diterka.
Mata Rian perlahan terbuka. Setelah hampir 40 menit ia pingsan, akhirnya ia terbangun juga. Naisha dan ibunya tersenyum lega. Rian segera bangkit duduk dan memandang Naisha.
"Jadi jawabanmu gimana, Nai? Aku diterima, enggak?" tanya Rian yang masih dalam kondisi lemas.
Naisha terdiam. Garis ekuator mungkin bisa membelah bumi menjadi dua, tapi hatinya tidak bisa. Garis ekuator dan Rian adalah suatu hal yang berbeda, tapi iba dan rasa cinta bisa berarti sama. Naisha mematung bagai tugu katulistiwa. Tetes air mata di pipi tak mampu membuka esensi jawaban di hatinya.
* * *
Oleh Rosmen Rosmansyah
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR