Mengobati lukaku tidak makan waktu lama, dan setelah selesai kami disuruh kembali ke lapangan. Adam meletakkan tangannya di siku kananku saat dia melihatku meringis pelan ketika mencoba berjalan.
"Pelan-pelan saja, sebentar lagi kan bel," katanya.
Aku mengangguk.
"Makasih, tapi aku bisa jalan sendiri sekarang," ujarku, menepis sentuhannya. Tetapi dia tidak melepaskan tangannya.
"Jangan keras kepala, Adia, aku Cuma mau Bantu kamu," tegurnya." Masak kamu sebegitu bencinya sama aku sampai dibantu saja enggak mau?" Suaranya penuh dengan rasa sakit hati, dan mendadak aku merasa bersalah.
"Aku enggak benci sama kamu, tapi..."
"Tapi kamu enggak mau memberi harapan, begitu kan?" potongnya, kali ini denga sukarela melepaskan lenganku untuk melipat tangannya di depan dada." Kamu enggak usah khawatir tentang itu, aku tahu kamu enggak suka aku. Aku bukan cowok yang kamu, engga peduli seberapa kerasnya aku mencoba."
Kali ini aku tidak tahu bagaimana membalasnya.saat aku mengira dia hanya main-main, mudah saja untuk menolak dan mengusirnya jauh-jauh. Namun sekarang, aku hanya bisa diam.
"Kamu enggak perlu berubah untukku," kataku pelan-pelan, mencoba menyusun kata-kata yang benar." Paling enggak, jangan berubah secara dratis. Belakangan ini, kamu terlihat tertekan sekali. Aku lebih suka kamu yang biasanya."
Ujung bibirnya langsung terangkat, membentuk senyum penuh harap.
"Jangan mikir aneh-aneh," tambahku cepat-cepat.
"Aku masih enggak mau jadi pacarmu, tapi kurasa kita bisa berteman." Dia mengerutkan keningnya, seolah-olah berpikir keras. Kemudian dia tersenyum lebar dan mengangguk.
"Oke, kita berteman. Lama-lama kamu pasti suka padaku."
Aku tersenyum dan mengangkat bahu.
"Lihat saja nanti."
Adam tidak akan pernah menjadi persis seperti tipeku, tapi dia berusaha. Dan mungkin nanti, aku bisa menyukai dirinya sebagai lebih dari teman. Mungkin.
Oleh : Priscilla Marietta
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR