Sebagai cewek, saat kita tumbuh menuju dewasa ini, kita pasti pernah mendengar beberapa konsep tentang 'gimana cewek seharusnya'.
Misalnya, "Cewek yang ideal itu cewek yang langsing dan berkulit putih. Kalau enggak gitu berarti enggak cantik". Makanya kita juga mungkin sering mendengar "Ih anak cewek kok kulitnya hitam gini, makanya jangan panas-panasan aja!" atau "Ya gimana mau dapet pacar, diet makanya!" dan lainnya.
Sebuah konsep yang menuntut cewek untuk memenuhi kriteria tertentu yang dianggap ideal, sehingga sering kali membuat kita merasa enggak PD, bahkan mungkin merasa enggak suka sama diri kita sendiri.
Tapi kita jarang mendengar larangan atau ucapan itu ditujukan pada cowok. Jarang rasanya ada yang bilang cowok enggak boleh panas-panasan biar enggak jadi hitam. Yang ada malah, "Ya elah, biarin aja kali item juga, cowok ini, kan macho."
Jadinya ada double standard, yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk sesuatu yang sama, hanya karena perbedaan gender. Pernah ngalamin?
Contoh lainnya misalnya kita enggak dipercaya hanya karena gender kita. Misalnya, dalam menentukan pemimpin, cowok dirasa lebih mampu, soalnya cewek dianggap suka ribet dan gampang baper.
Atau sebaliknya, kalau ada posisi yang memerlukan ketelitian dan kesaabaran, biasanya cowok enggak dipercaya. Mendingan cewek aja deh, biar lebih teliti.
Padahal enggak semua cewek teliti dan enggak semua cowok enggak teliti dong? Dan enggak semua cewek enggak bisa mimpin, kan?
Atau kejadian lain seperti ini: kita pacaran selama beberapa bulan dengan seorang cowok dan dia baik juga romantis banget. Kita merasa menjadi cewek yang paling beruntung saat itu.
Sampai akhirnya suatu hari, pacar memaksa kita untuk ciuman bahkan melakukan hubungan seksual. Meski sebenarnya, dalam hati kita belum siap untuk melakukan hal tersebut,
kita jadi terpaksa mau melakukannya, karena pacar bilang ciuman adalah tanda sayang kita ke dia. Kalau kita enggak mau kita akan diputusin.
Contoh lainnya yang paling gampang dan sering kita temui sehari-hari adalah hinaan di medsos yang sangat kasar menyerang perempuan. Misalnya kalau ada cewek yang foto seksi sedikit disebut p*r*k atau j*bl*y dengan mudahnya.
Atau ada cewek yang gemuk sedikit pamer foto selfie dengan PD langsung dihina fisiknya, di-bodyshaming, hanya karena perut atau bokongnya besar, mungkin.
Tapi enggak begitu kalau cowok yang melakukan itu. Atau ya, yang paling umum adalah jadi korban cat calling, yaitu digodain saat jalan atau berada di tempat umum, kayak dikasih siulan atau dipanggil-panggil dengan nada menggoda yang mengganggau.
Baca juga: Mengirim Foto Telanjang ke Pacar Itu Bukan Tanda Cinta. Kita Harus Menolaknya Dengan Tegas
Perlu kita sadari bahwa hal-hal tersebut adalah bentuk dari Seksime (sexism) dan Misoginis (misogyny). Seksime adalah perlakukan menganggap rendah atau mendiskriminasi gender tertentu.
Beranggapan bahwa gender tertentu itu lebih baik atau lebih superior daripada gender lainnya. Umumnya seksime terjadi pada gender perempuan. Perempuan umumnya dianggap lebih rendah, lebih enggak mampu dan lebih dibatasi dalam melakukan segala sesuatu.
Sedangkan misoginis adalah kebencian atau rasa enggak suka pada gender perempuan. Wujudnya bisa dalam berbagai bentuk, misalnya diskiriminasi gender, pelecehan seksual, kekerasan terhadap perempuan dan objektifikasi seksual pada perempuan.
Oh ya, sebelumnya kita harus tahu dulu ya, bahwa gender itu berbeda dengan jenis kelamin. Gender itu adalah pembagian peran serta kedudukan, posisi, tugas terhadap cewek dan cowok (pada umumnya) yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan norma, adat, budaya, kebiasaan, kepercayaan atau nila-nilai lainnya yang ada di masyarakat.
Jadi gender itu bukan lah kodrat yang bersifat mutlak dan harus dipatuhi. Berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat kodrat. Misalnya, secara jenis kelamin, perempuan itu pasti akan mengalami menstruasi dan punya payudara (buah dada).
Itu kodrat kita sebagai cewek, bukan gender. Seksime dan misoginis umumnya menjadikan cewek sebagai objek, bukan subjek.
Apa bedanya? Saat kita sebagai cewek dianggap sebagai objek, berarti kita enggak punya kuasa, bahkan terhadap diri kita sendiri. Kita adalah objek yang mendapatkan kuasa dari orang. Bukan sosok yang punya kuasa atas dirinya sendiri.
Sekisme dan misoginis ini sebenarnya banyak dan sering terjadi di kehidupan sehari-hari. Meski umumnya kita sebagai cewek jadi objek penderita, enggak jarang juga kita melakukan tindakan seksime pada cowok atau tindakan seksisme dan misoginis pada sesama cewek.
Sedihnya, hal ini jadi dianggap biasa dan dimaklumi karena sudah jadi sebuah konsep yang dianggap wajar dalam masyarakat. Sehingga kita cenderung diam, atau kalau pun enggak suka, enggak berani mengungkapkan atau melawannya, karena takut.
Padahal kita perlu banget belajar untuk berani menghadapi dan menghentikan perilaku seksime dan misoginis ini.
Harus Berani Ngomong!
Sebagai cewek, kita harus berani ngomong dan berpendapat ketika mengalami perlakuan yang berbeda atau saat kita hanya diperlakukan sebagai objek penderita tanpa diberi kuasa buat berpendapat atau melakukan yang kita inginkan dan menurut kita benar.
Kita boleh berpendapat kalau yang menjadi pemimpin tugas kelompok itu enggak hanya cowok dan membuktikan cewek juga bisa. Tentunya, tanpa menyudut pihak cowok juga.
Dalam hubungan berpacaran, kita juga harus berani mengambil sikap ketika pacar mulai melakukan hal yang enggak sopan, seperti memaksa mencium kita, meskipun dia mengatasnamakan cinta di atas segalanya.
Seksime dan misoginisi ini terjadi di mana-mana, terhadap cewek dari berbakai latar belakang. Mau itu orang biasa atau pun para seleb cewek dunia.
Contohnya beberapa seleb cewek ini. Tapi mereka enggak tinggal diam, dan berani angkat bicara untuk memperbaikinya.
Anna Kendrick, seleb yang main dalam film Pitch Perfect ini pernah mengalami seksisme saat menentukan peran di sebuah film.
“Jadi biasanya dalam sebuah film, akan dipilih terlebih dulu pemeran cowok yang dianggap tepat. Setelah itu pemeran cewek ditentukan dari seleb cowoknya. Buat aku itu enggak adil, begitu banyak seleb cewek yang punya bakat luar biasa tapi enggak bisa menunjukkan dirinya karena hanya berpatokan pada penilaian cowok.”
Lain lagi dengan Emma Watson, pengalamannya sebagai seorang seleb membuat dia mengerti kalau seksisme itu bisa terjadi di mana saja, termasuk dunia industri film.
“Selama aku main film, aku pernah main 17 kali yang sutradaranya cowok, sedangkan cewek hanya dua kali. Begitu juga dengan produser, aku pernah bekerja sama dengan 13 produser cowok dan hanya satu orang yang cewek. Apakah itu adil? Bagiku tidak,” ucap Emma.
Perbedaan posisi pekerjaan juga menjadi salah satu perilaku seksisme yang paling sering diterima cewek. Di mana cowok dirasa pantas mencapai posisi yang tinggi dalam kariernya sedangkan cewek enggak perlu berpikir sejauh itu.
Karena sejauh-jauhnya cewek sekolah, berujung di dapur, begitu katanya. Padahal urusan dapur enggak ada perbedaan jenis kelamin, baik cowok dan cewek punya hak dan kesempatan yang sama, bukan?
Baca juga: Enggak Cuma Cowok, Cewek Juga Bisa Melakukan 5 Hal Ini!
Harus Sadar Diri & Peka
Perlakuan seksisme dan misoginis memang sulit untuk kita hindari, kita pasti pernah mungkin masih akan mengalaminya. Permasalahannya adalah kita sadar atau enggak, dan kita berani ngomong atau enggak.
Kalau saja kita sadar, ada banyak lagu yang sering kita dengar, yang juga mengandung lirik yang seksisme bahkan misoginis.
Coba deh dengerin lagunya OMI - Cheerleader yang sempat jadi hits banget atau lagu Robin Thicke – Blurred Lines. Bisa saja kedua lagu itu jadi favorit di playlist kita tanpa kita sadar liriknya menyudutkan cewek.
Baca juga: 7 Seleb Hollywood Ini Membuktikan Kalau Sesama Cewek Harus Saling Mendukung
Untuk itu, yuk latih diri dan pekaya pengetahuan kita tentang hal ini. Coba peduli dengan isu-isu sekitar kita, lebih hati-hati kalau mengonsumsi sesuatu agar enggak salah bersikap.
Kita juga perlu leih peka. Artinya kita menghindari diri menjadi subjek yang justru menyudutkan gender tertentu. Kita jangan membedakan cowok dan cewek kalau enggak ingin dibedakan juga.
Kita jangan men-judge teman cewek kita yang tomboy atau teman cowok kita yang metroseksual. Karena pada akhirnya, setiap orang itu ingin dihargai sebagai seorang manusia, terlepas dari gender dan jenis kelamin kita.
Penulis | : | Debora Gracia |
Editor | : | Debora Gracia |
KOMENTAR