"Kau? Terkena kanker? Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku? Kanker apa? Apa aku salah jika aku terlalu banyak mengundangmu ke sini?" tanyanya bertubi-tubi
Aku sudah bisa memprediksikan yang terjadi. Dia menghujaniku dengan ribuan pertanyaan yang enggan kujawab. Dia melihatku dengan rasa kasihan, seperti pada saat aku kehujanan waktu itu. Tapi kali ini lebih buruk.
Aku menceritakan segala yang terjadi. Tentang kanker darah yang kualami, tentang diagnosa dokter yang berkata hidupku tinggal beberapa bulan lagi. Air mataku tumpah padanya. Menceritakan segala kegelisahan dan kesedihanku yang kualami.
"Kenapa harus aku, Fal? Kenapa Tuhan memilihku? Inikah yang dinamakan takdir?" tanyaku padanya dengan mata penuh air mata.
"Inilah skenario yang dibuat Tuhan, Rin. Semua sudah ditentukan dari awal, tak ada segala suatu yang kebetulan. Semua hanya takdir yang tinggal menunggu kapan dia menampilkan dirinya, tak bisa diubah," katanya padaku.
Setelah mengetahui bahwa aku sakit, dia jarang menyuruhku mengunjungi tokonya. Bahkan, dia seringkali datang kerumahku. Dia menemaniku hingga detik-detik batas akhir hidupku.
Hingga akhirnya.
"Batasku sudah terlewati kemarin, Fal! Dokter tidak benar! Aku masih hidup! Aku masih hidup!" kataku dengan riang.
Dia tersenyum lebar. Dia memegang tanganku dan berkata "Aku tahu kau bisa!"
Aku tahu sebenarnya perjuanganku yang sebenarnya baru dimulai. Ibu mengatakan, bahwa aku akan menjalani operasi di luar negri. Namun, bila aku gagal, aku akan meninggalkan segalanya.
Aku tidak ingin memberi tahu tentang operasi yang akan kujalani pada Naufal. Aku tidak ingin ia terlalu khawatir. Aku menjauhinya sebisa mungkin.
Kini, aku menyesal telah mengenal Naufal. Terlalu banyak orang yang akan kutinggalkan, terlalu banyak kenanganku yang akan tersimpan di dalam dirinya. Terlalu banyak cintaku yang terkubur jauh bersama dirinya.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR