Hingga akhirnya, televisi yang menjawab.
Gempa 7,5 SR terjadi di daerah GRAVILIA. Korban jiwa diperkirakan hingga 4500 jiwa. Pemerintah akan menindaklanjuti program....
DUAR! Ledakan di dalam tubuhku begitu terdengar jelas. Seakan ledakan itu nyata, aku menjadi tak sadarkan diri. Ketika tersadar, ibu dan ayahku tampak khawatir. Mereka sangat terkejut melihatku tak sadarkan diri. Aku berkata bahwa sebenarnya yang kukhawatirkan adalah gempa yang terjadi di kotaku. Di kota kami.
Aku menceritakan segalanya pada ibu tentang Naufal. Ibu tampak mengerti dan mencari informasi tentangnya. Rumah kami ternyata baik-baik saja. Namun, rumah keduaku hancur lebur. Toko topeng itu....
Setelah diperbolehkan pulang, aku segera bergegas menuju toko topeng. Aku tidak mempedulikan rumahku. Hanya Naufal. Aku menuju jalan yang sudah ditutupi oleh reruntuhan yang begitu bertebaran di mana-mana. Ambulans berbunyi nyaring, tetesan air mata tumpah dan harapan kosong penduduk kota.
Aku menemukan toko topeng dalam keadaan hancur. Topeng yang berwarna warni berubah menjadi keping-keping harapan yang remuk. Dan, akhirnya aku bertemu seorang wanita.
"Kau Rina? Teman Naufal, kan? Hanya kau yang dia punya. Jadi, kukira kau yang perlu kutitipkan ini," katanya sambil memberikan replika topeng moai dan sebuah tiket pesawat.
"Apa yang terjadi? Dimana dia?"
" Maafkan aku, dia sudah berhasil keluar dari toko itu. Namun, tiba-tiba dia berteriak menyebutkan namamu, dia berlari masuk hendak mengambil sesuatu. Namun, reruntuhan sudah mengalahkan harapannya. Maafkan aku, maafkan aku," kata wanita itu.
Air mataku mulai berjatuhan. Aku menggenggam erat topeng dan tiket itu. Aku terbiasa menangis bersamanya, tidak untuknya. Harapan kami yang terputus, harapan kami yang sudah kami pupuk sejak awal kami bertemu. Dihancurkan oleh getaran bumi yang memberikan sebuah pelajaran yang terlalu berharga.
Topeng kami menjadi sebuah topeng impian. Impian yang tidak akan kuteruskan tanpanya. Tanpa dirinya.
Semua sudah ditentukan dari awal, tak ada segala suatu yang kebetulan. Semua hanya takdir yang tinggal menunggu kapan dia menampilkan dirinya, tak bisa diubah. Seperti pertemuan kami, yang bukan suatu kebetulan.
(oleh: Kariza Rai Shafira, foto: tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR