Aku hanya ingin ditanya. Seperti yang dulu Mama lakukan setiap pagi.
"Bangunlah, Sayang. Matahari telah menjelang. Anak gadis tidak boleh bangun siang. Nanti jodohnya terbang. Mau sarapan apa, Bintang? Roti panggang atau nasi rendang?"
Ah, Mamaku memang pandai merangkai kata-kata berirama. Aku langsung memeluk dan mencium pipinya. Biasanya Mama protes.
"Ih, belum sikat gigi, sudah cium pipi. Mama nanti alergi. Kecantikan Mama langsung pergi...."
"Iuw! Mama ganjen...!" Mama selalu menemaniku sarapan dan mengantarku sampai pintu gerbang rumah saat bis sekolah datang menjemput. Aku tak pernah memalingkan wajah sampai lambaian tangan Mama menghilang saat bis berbelok di tikungan jalan. Senyum Mama menemaniku sepanjang hari.
***
Aku hanya ingin ditanya. Seperti yang dulu Mama lakukan setiap siang, sepulangnya aku dari sekolah.
"Bagaimana harimu di sekolah, Nak?"
Biasanya aku bercerita sambil mengganti pakaian. Aku bercerita tentang ulangan mendadak yang diberikan oleh Pak Purba, guru matematika yang super killer.
"Pak Purba parah sekali, Ma! Dia memberi ulangan mendadak! Dia bahkan tidak peduli pada protes anak-anak sekelas yang tidak siap diberi ulangan!"
"Tapi kamu enggak ada masalah mengerjakan ulangan itu, 'kan, Sayang?"
"Enggak dong, Ma. Anak Mama ini keturunan Einstein! Soal sesulit apa pun, aku berantas sampai tuntas!"
"Hush! Walaupun anak Mama paling pintar di kelas, tapi kamu tidak boleh takabur seperti itu, Sayang."
"Iya, Ma...."
Lalu aku meneruskan ceritaku. Kali ini tentang Denada yang berulang tahun dan mendapat kejutan dari anak-anak sekelas.
"Denada diceplokin telur dan disiram tepung terigu, Ma! Dia hampir menangis! Tapi kami memberi hadiah yang membuat Denada tersenyum senang. Kami membelikannya sebuah boneka Patrick Star yang sangat besar karena Denada suka sekali dengan tokoh kartun sahabat Spongebob itu. Sudah lama kami merencanakan pesta kejutan ini, dan kami senang karena rencana kami berjalan dengan sukses!"
"Tapi bagaimana Denada pulang dengan baju dan rambut kotor seperti itu?" tanya Mama.
"Kami sudah menyiapkan baju ganti untuknya. Reno, yang sedang PDKT dengan Denada, siap sedia mengantarkannya pulang sampai ke rumah. Jadi, Denada tidak perlu dijauhi orang satu bis sekolah karena bau amis. He-he-he...."
"Dasar kalian...." komentar Mama sambil mengacak-acak rambut panjangku.
Tak lupa, aku pun bercerita tentang sang pujaan hatiku. My secret love.
"Hari ini, aku hampiiiiiiiiiir saja bertabrakan dengan Gilang, Ma. Aku baru keluar dari kantin dan sedang membaca brosur tentang lomba puisi yang dibagikan oleh sekolah. Gilang berjalan dari arah yang berlawanan. Sepertinya dia dari lapangan sepak bola. Iya! Aku yakin dia habis main bola, karena dia pakai Jersey club Barcelona dan dia membawa-bawa bola, Ma!"
"Lalu...?" tanya Mama.
"La...lalu... dia bilang 'Girl, jangan membaca sambil jalan, please..."
"Lalu...?" tuntut Mama lagi karena aku terdiam lama dan tak melanjutkan
ceritaku.
"Lalu apa, Ma?" tanyaku.
"Lalu kamu bilang apa kepadanya, Sayang?"
"Aku tidak bilang apa-apa, Ma. Seperti biasa, lidahku tiba-tiba saja kaku. Aku mendadak menjadi tuna rungu. Cepat-cepat saja aku berlalu. Seperti seekor kucing yang pemalu. Aku benci menjadi seorang gadis yang dungu!"
"Kamu tidak dungu, Sayang. Kamu seperti ini karena kamu sangat menyukainya...."
"Aku bahkan tidak bisa untuk sekedar mengatakan 'sorry, maaf, atau apalah!' Aku sebal dengan diriku, Ma! Padahal itu kesempatan bagus untuk berkenalan dengannya. Aku rasa dia bahkan tidak tahu namaku!" Aku membanting tubuhku ke atas tempat tidur dan mencubit gemas boneka Doraemon.
"Sayang, ceritakan lagi kepada Mama, seperti apa cowok yang bernama Gilang ini. Kok bisa-bisanya dia membuat anak kesayangan Mama jadi termehek-mehek." "Dia kakak kelasku, Ma. Dia tampan, tinggi, hitam manis, kapten tim kesebelasan sepak bola, pintar, pendiam dan agak dingin. Justru sikap dingin itu yang membuat dia digilai oleh cewek-cewek seantero sekolah, termasuk aku. Dia seorang calon bintang...." kataku sambil menerawang. Wajah Gilang menari-nari dipelupuk mataku. Aku tersipu malu dan menutupi wajahku dengan boneka Doraemon.
"Gilang baru seorang calon bintang. Tapi kamu, sudah menjadi Bintang. Bintang yang paling terang di hati Mama. Percayalah, Mama punya feeling, Gilang pun diam-diam memperhatikan kamu. Mungkin kamu harus sedikit lebih rileks jika berada di dekatnya. Cobalah menjadi dirimu sendiri. Seorang Bintang yang selalu ceria, lucu, banyak akal, pintar dan manja," Mama berkata panjang lebar sambil mengelus rambutku. Aku memeluknya.
"Aku sangat menyukainya, Ma. Gilang adalah seorang yang istimewa," bisikku.
"Mama tahu. Mama yakin dia istimewa karena dia bisa membuatmu gundah gulana. Mama juga punya sesuatu yang istimewa. Tahu tidak? Mama tadi mencoba resep dari Chef Farah Quinn yang kemarin Mama lihat di TV. This is it! Banana chocolate cream cake with strawberry and cheese topping ala chef Mama Bintang! Wanna try?"
"Mauuuuuuuuuuuuuuuuu ..."
'***
Aku hanya ingin ditanya, Ma. Seperti yang dulu Mama lakukan sebelum tidur.
"Kamu masih belajar, Sayang?"
"Iya, Ma. Besok ada ulangan fisika. Aku harus menghafal rumus-rumus sebanyak ini. Doakan agar nilaiku bagus, ya Ma."
"Selalu, sayang. Dalam setiap sisa hembusan nafas Mama, selalu terselip doa untukmu, untuk Papa, untuk keluarga kita. Semoga kita masih bisa berkumpul lebih lama lagi."
"Apa maksud Mama? Kita akan terus bersama selamanya, kan? Mama, Papa dan aku akan selalu bersama selamanya. Ya, kan, Ma?" Pertanyaanku dijawab Mama dengan senyum samar.
"Jika kamu sudah lelah, tidurlah, Sayang. Jangan terlalu dipaksakan. Jaga kesehatanmu, Nak. Mama tidur duluan, ya...."
"Mama kenapa? Mama sakit, ya?"
"Tidak, Sayang. Mama hanya sedikit lelah...."
"Ya sudah, Mama istirahat, ya. Bintang mau menyelesaikan satu soal lagi, lalu Bintang akan tidur. Selamat malam, Mama. I love you...."
"I love you too, my star...."
***
Mama masih ingat semua itu, 'kan? Kenapa Mama sekarang diam saja? Sudah seminggu ini Mama hanya terbaring di tempat tidur rumah sakit. Mata Mama tak pernah terbuka lagi. Tubuh Mama dihiasi selang-selang dan jarum. Hanya gerakan dada yang naik turun sangat pelan, yang menandakan bahwa Mama ada masih bersamaku.
Bangunlah, Ma! Bicaralah kepadaku. Aku punya banyak cerita untuk Mama. Aku ingin bercerita tentang Denada yang akhirnya jadian dengan Reno. Aku ingin cerita tentang nilai-nilai ulanganku yang hancur. Tapi aneh. Para guru sama sekali tidak memarahiku. Mereka malah menghiburku.
"Sabar, ya Bintang...."
"Kamu pasti bisa melalui cobaan ini, Bintang...."
"Semoga Mamamu cepat sembuh, Bintang...."
Aku juga ingin bercerita tentang Gilang. Mama benar. Ternyata Gilang juga merasakan seperti apa yang aku rasakan terhadapnya. Mama benar. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri. Mama tahu tidak? Gilang ada di sini bersamaku. Dia selalu menemaniku. Dia hampir tak pernah membiarkan aku sendiri. Kadang aku harus memaksanya pergi untuk meninggalkan aku berdua saja bersama Mama.
Kenapa Mama tak pernah bercerita kepadaku dan Papa? Kenapa Mama menyimpannya sendiri? Kenapa Mama menahan semua rasa sakit itu seorang diri? Mama tak ingin membuat aku sedih, ya? Justru aku lebih sedih, Ma. Ketika pulang sekolah, aku menemukan Mama pingsan di kamar mandi.
Mereka bilang, Mama menderita kanker hati stadium tiga. Mereka bilang, hanya keajaiban yang bisa membangunkan Mama. Mereka bilang, hidup Mama sekarang tergantung dari mesin pemicu jantung. Mereka bilang, hanya menunggu persetujuan Papa untuk menghentikan mesin itu. Mereka bilang, tinggal menunggu bilangan waktu. Mereka bilang....
Bangun dong, Ma. Sekali lagi saja. Demi aku, Bintang di hatimu. Aku hanya ingin ditanya tentang bagaimana hari-hariku tanpa kehadiran Mama.
'***
(Oleh Dwi Indarti @itsjustdwi, foto: myfirsttimesa.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR