Orangtua Reisha memaki-makiku, bahkan ibunya menamparku. Aku memang bersalah, tetapi Reisha juga bersalah. Dia cewek jelek dan pemurung yang egois. Aku hanya meminjamkan pulpen dengan tinta yang hampir habis kepadanya, tetapi ia mendekatiku hampir setiap hari di perpustakaan. Aku telah berusaha menjauhinya, tetapi ia tetap mendekatiku sampai terkadang memaksaku mengantarnya pulang.
Dua minggu setelah kecelakaan itu, aku melewati kelas Reisha. Aku mendengar salah seorang teman sekelasnya meneriakkan bahwa ada hantu yang muncul di jalan itu. Aku yakin itu pasti Reisha. Mungkinkah arwahnya tidak tenang karena diriku? Aku tidak mau bertemu dengannya.
"Hei, Ton! Elo enggak penasaran sama hantu si Reisha?" tanya sahabatku blak-blakan. Saat itu kantin sekolah sedang tidak terlalu ramai, aku tidak peduli ada yang mendengar percakapan ini atau tidak.
"Enggaklah, man. Serem gua. Gua tiap hari muter jalan," jawabku.
Kedua alis mata sahabatku menaik. Kemudian ia tertawa keras. "Cupu lo! Lo yang bikin dia mati juga!"
Saat itu aku ingin sekali meninju orang ini. Tapi apa yang dia katakan ada benarnya. Aku tidak boleh lari terus. Aku harus melihat apa sebenarnya yang ada di jalan itu. Dan hari ini, dibekali rasa ingin tahu dan takut setengah mati, aku memberanikan diri untuk melewati jalan itu lagi.
Udara dingin menghembus kulit leherku yang tidak tertutup jaket. Sekarang aku sudah berada dekat jalan itu. Tinggal berbelok ke arah kanan aku akan sampai di tempat kejadian. Aku membawa motorku perlahan, menyusuri jalan itu dengan hati-hati. Tidak ada apa-apa. Aku menghentikan motor di depan sebuah gang kemudian duduk menyamping. Aku menghembuskan napas lega karena apa yang kutakuti selama ini ternyata hanya bualan belaka. Tepat sebelum aku melaju cepat, ingin segera meninggalkan jalan ini, tiba-tiba seorang nenek muncul di depan motorku. Untung aku menekan tuas rem tepat waktu, aku tidak ingin membunuh seseorang lagi.
"Apakah kau sudah bertemu dengannya?" tanya nenek itu.
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan nenek itu. "Maksud nenek apa?"
Nenek itu hanya membalas pertanyaanku dengan senyuman. "Syukurlah kau menemukannya, Non."
Non? Oh, aku mengerti apa maksud nenek itu. Nenek itu tidak berbicara denganku, melainkan dengan penumpang yang sekarang ada di belakangku. Perlahan aku merasakan bulu kudukku berdiri. Dia menemukanku.
***
(oleh: Fauziah Nur Sabrina, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR