Sabtu dini hari kemarin ia memberitahuku bahwa ia akan pergi. Dia harus pergi meninggalkan aku keluar kota. Entah kenapa, tapi aku enggan menanyakannya. Biar saja dia pergi. Itu akan menjadi jauh lebih baik bagiku. Aku, yang tidak pernah suka dia tinggalkan dan yang akan merasa merana sekali setelah auranya tak lagi dekat denganku. Hari-hariku serasa diguyur hujan lebat. Terperangkap, kedinginan, kemudian mati. Benarkah cinta dapat membunuh?
Aku dan dia, orang yang aku cintai, sedang mengalami hari-hari yang berat. Berat karena untuk pertaman kalinya cinta menghajar hidup kami berdua dan untuk yang kesekian kalinya aku sangkal rasa sakit itu yang akhirnya meradang dan kronis. Cinta kami kokoh di luar tapi telah hancur di dalam.
Masalah seperti itu benar-benar prinsipil dan sulit untuk diselesaikan. Kemarin, sekadar menumpahkan amarah masing-masing adalah hal yang lumrah. Tetapi bila saling diam? Diam itu mampu menginfeksi udara tempat kami bersama secara menakutkan. Mencekam namun lambat laun membunuh. Kata-kata menjadi barang yang amat langka. Diam itu berkata dengan bahasanya sendiri, yaitu bahasa dari hati-hati. "Maaf" katanya kepadaku. Aku yang hanya bisa menampakkan kelemahanku sebagai seorang perempuan hanya menangis. "Aku menjadi hina sekali di depanmu tapi aku tidak pernah bermaksud mengabaikanmu. Bukan Karena aku yang tidak mampu memberimu perhatian sebesar dulu tapi," Kata-katanya terhenti. Aku tahu apa yang akan dikatakannya. Namun melanjutkan kalimat yang bukan hak kita adalah benar-benar tidak bijak.
"Aku tahu bagaimana tidak enaknya menjadi kamu. Aku juga berharap aku bisa segera mengubah keadaan ini. Namun, aku mohon kamu tetap tinggal di sini bersamaku walau menjalin hubunga spesial ini harus lewat jalan belakang dan diam-diam. Kamu tetap satu yang aku ingin."
Tidak akan ada yang bisa menangkal sakit akan kenyataan itu. kenyataan untuk menerima bahwa aku dan dia yang sudah bersama sejak setahun lalu ternyata memilih jalan belakang. Hasilnya, aku wajib mengikhlaskan dia meninggalkan aku dalam jangka waktu lama bersama kehidupannya yang tanpa aku. Bukan karena aku tidak pantas bersanding dengannya jika dia memilihkan jalan seperti ini untuk kami berdua. Tapi perasaan terlalu cinta yang mendasarinya. Karena cinta pula kami punya harapan untuk bisa benar-benar bersatu. Alasan yang lucu tetapi logis. Karena cinta. Benarkah cinta bisa logis?
"Aku lelah," kataku.
"Maaf," katanya sambil menatap aku, yang enggan menatapnya.
"Aku juga lelah pada maafmu," kataku lagi. "Sampai kapan kamu akan menyembunyikan aku? Kamu tidak bisa mempermainkan aku lagi. Seenaknya kamu datang dan kemudian pergi meninggalkan aku dengan alasan yang kamu tahu kamu pasti benar. Aku bisa dengan nekat mendatangi keluargamu dan mengatakan kita saling mencintai. Kamu telah memilihku dan aku telah memilihmu. Sudah. Semuanya semudah itu!"
"Tidak akan semudah itu! tolong," dia menatapku dengan amat sedih dan penuh permohonan."Aku malu mengakui bahwa aku mencintaimu di hadapan seluruh keluargaku. Aku belum menjadi orang yang mampu untuk bertanggung jawab penuh atas hidupmu nantinya. Mengertilah, kita sudah membicarakan ini berkali-kali."
"Dan masalah yang ada selalu karena ini," sanggahku.
"Aku mencintaimu."
"Tolong jangan lumpuhkan aku dengan nama cinta," aku bersikeras. "Cukup, aku juga mencintaimu. Tidak akan pernah rela melihatmu pergi dariku. Jangan biarkan aku membenci kehidupanmu dengan keluargamu yang tidak pernah aku tahu. Aku tidak suka kamu jauh. Kamu terlalu sering pergi membawa waktumu yang sejatinya milikku untuk kehidupan pribadimu. Kenapa tidak kau biarkan aku masuk menjadi bagian dari kluargamu? Aku tidak suka backstreet."
Aku kira tidak ada yang suka. Tetapi antara memilih untuk menjadi benar dan menjadi bijak tidaklah mudah. Alasan untuk menjadi seorang cowok yang benar-benar bisa baik sebelum mengizinkan aku masuk menjadi bagian dari kehidupannya yang utuh kini menyergapku. Walau aku tahu bukan aku saja yang mengalami permasalahan seperti ini tetapi merasakannya lebih sulit daripada sekedar membayangkannya.
Dan sekarang dengan terbata-bata dia beri tahu aku bahwa ia akan pergi. Dan kenyataan yang pahit menerapku, menerjang dengan amat sakit, yaitu kenyataan bagaimana lemahnya aku bila dia tak ada. Sesungguhnya jika aku bisa itu adalah hal yang paling ingin aku hindari. Rasa sedih dan sakit demi menjadi saksi bagaimana dia menjadi cowok yang paling dicintai dalam keluarganya dan paling dibutuhkan teryata tak bisa disangkal. Seharusnya aku senang memilikinya. Namun, menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa dalam kehidupannya yang sejati membuat aku dilemma. Di lain sisi teryata orang yang aku kasihi menyakitiku.
Dia akan pergi. Tinggal menghitung waktu. Aku merasa seperti kehilangan oksigen dan paru-paruku mengerut. Sakit sekali. Aku seperti kehilangan darah dan jantungku hanya mampu berdetak setengah kali lebih lambat dari biasanya. Memikirkannya membuat aku luar biasa sedih. Membayangkannya membuat aku ingin menangis. Jika dia tak ada aku tak tahu harus bagaimana. Dia adalah kawan yang paling dekat denganku, dengan jiwaku, dengan ragaku, dengan hatiku. Seorang dia menjadi penuntun langkahku bagai lilin kala gelap menyergap. Pelitaku. Kompasku. Pusat orbitku. Matahariku. Pusat diriku.
Tiga jam sebelum kepergiannya dia mendatangiku. Dia antara jeda pergantian pagi dan siang. Aku sudah memperkirakan ini akan terjadi. Namun otakku terlalu sesak untuk mengucapkan selamat jalan. "Aku akan pergi," akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirnya. Tersenyum adalah hal yang paling sanggup aku berikan padanya. Bukan sebuah senyuman manis seseorang yang mengikhlaskan pujaan hatinya untuk pergi, melainkan sebuah senyum pasrah dan tak berdaya." Aku akan lama di sana jadi jaga diri baik-baik," itulah kalimat kedua yang ia ucapkan. Aku berusaha mendorong sebuah tawa kali ini tapi yang keluar hanyalah sebuah dengusan lemah tanda tersiksa. Harusnya aku senang jika tahu ia akan bersenang-senang entah di mana ia akan pergi natinya. Namun aku tidak pernah tenang jika ia pergi meninggalkan aku, apalagi jauh dan lama. Aku jadi benci sekali dirinya.
"Tersenyumlah untukku," pintanya.
"Apa?" aku bertanya alih-alih tersenyum.
"Apa kamu rela tak bertemu denganku untuk waktu yang lama?"
"Aku tidak pernah memilih pilihan itu. Kamu yang memutuskan."
"Tapi aku bisa apa? Aku dibutuhkan di sana. Keluargaku perlu aku."
"Seperti aku perlu kamu," potongku.
"Ya, tapi ini berbeda. Tolong jangan buat aku bingung. Mengerti aku!" Ia menjadi sedikit tak sabar.
"Lantas, siapa yang akan mengertia aku?" Teriakku.
"Aku akan bersamamu selama apapun yang kamu mau setelah keluargaku selesai denganku," katanya pasrah." Aku janji."
"Aku tidak butuh janji."
"Tapi aku juga ingin bisa bersama kamu. Aku bingung."
"Pergi saja!"
"Aku..."
"Pergi! Waktumu sudah habis untuk bersamaku. Bukankah waktumu terbatas bersamaku? Tidak ada yang selama apapun untukku."
"Maafkan aku" dan kali ini dia menangis di hadapanku.
Aku yang berhasil berpura-pura tegar ternyata menjadi luar biasa tersentuh olehnya. Aku menjadi merasa bersalah sekali padanya. Seharusnya aku tahu bagaimana bingungnya dia memilih antara aku dan keluarganya. Namun, dia sudah memilih. Akhirnya dia pergi untuk benar-benar pergi jauh setelah aku enggak berkata-kata lagi. Aku melihat punggungnya yang menjauh. Kepalanya tertunduk lesu. Aku menyayanginya, itu pasti. Aku pun tidak sanggup menjadi orang yang mengalami hal serupa. Jika bisa memilih, aku ingin menjadi orang tanpa masalah. Aku menagis.
Sudah sangat dekat kali ini dari jam kepergiannya. Aku belum menempahkan segala perasaanku padanya. Aku benar-benar menyesal. Pasti akan terasa indah sekali bila masih sempat memeluknya sebelum ia pergi. Pasti keadaannya akan lain. Tapi aku rasa ini amatlah sangat wajar. Sudah lama, berhari-hari, aku tak tahu sejak kapan aku rajin menangis mengingatnya mengacuhkanku dan lebih-lebih mengetahui kenyataan dia akan pergi.
Meyakitkan sekali.
Tak ada kata-kata indah yang menyatakan pamit. Tak ada untaian pesan, tak ada peluk cium sayang demi melekatkannya di benak, di raga, dan di jiwa agar bisa jadi pelepas rindu yang bisa setiap saat menyergap. Tak ada tatapan 'sebenarnya enggan pergi meninggalkanmu dan cepat-pulang' dan tatapan 'jangan tinggalkan aku. Tak ada genggaman hangat itu yang menyejukkan hati, apalagi air mata pilu karena ditingalkan.
Simpan semua itu karena melihatnya saja pun aku tak bisa. Buang mimpi itu. Aku tak bisa merengkuhnya. Melihatnya pun tidak untuk yang terakhir kali atas pertemuan kami yang seharusnya bisa menjadi lebih indah. Namun aku masih ingat kala dia menyakitiku dengan amat sangat. Belum ada kata maaf yang indah tapi dia sudah memutuskan untuk pergi.
Aku tiba-tiba sadar merasa semakin ditinggalkan.
Aku ingin berlari mengejarnya walaupun dia bersama banyak orang. Walau hanya untuk melihatnya. Walau aku akan dianggap gila. Karena, di atas semuanya, aku tahu dia pasti akan menghampiriku. Aku benar-benar ingin berlari menuju dirinya yang sekarang masih dekat denganku. Aku hanya ingin berlari. Jauh, apakah itu menemuinya untuk mengatakan perasaan rindu dan cintaku yang telah lama tertahan seblum dia berangkat. Atau berlari untuk mencari pelarian agar aku bisa lupa akan dia karena mengingatnya jauh membuat aku sedih dan selalu ingin menagis.
Aku ingin tahu betapa sedih dan harusnya aku. Berharap dengan begitu dia bisa menghentikan langkahnya untuk pergi jauh dari aku, meletakkan kembali kopernya, membatalkan tiketnya, dan mungkin meminta maaf kepada seluruh keluarganya karena batal pergi. Aku juga akan meminta maaf. Aku ingin itu. sangat menginginkan itu agar dia menoleh sekali lagi padaku dan sadar bahwa ada seseorang yang telah lama dia tinggalkan dan pinggirkan. Aku berharap dia akan memelukku, jadi pergi atau tidak. Realita ini tak membuat aku semakin merasa baik.
Aku tidak ingin sendiri karena duniaku sudah terasa sepi walau hanya tanpanya. Aku amat ingin pelukannya yang erat dan amat ingin pula memeluknya dengan erat seperti aku tidak akan pernah membiarkannya pergi tanpa sisa-sisa aroma tubuhku menempel di bajunya dan sisa-sisa aroma tubuhnya menempel di bajuku. Karena itu akan membekas selamanya.
Aku sangat ingin mengatakan semua kata cinta yang tercipta tanpa rumus untuknya. Sebelum terlambat. Agar, setidaknya aku bisa melepasnya dengan tenang. Agar, setidaknya dia mengetahui bahwa aku mencintainya dan aku telah memaafkannya, bahkan berjanji tidak akan marah lagi jika dia tidak pergi. Aku ingin berteriak agar dia tidak pergi.
Tapi dia tetap akan pergi.
Karena aku telah memarahinya dengan amat sangat yang disebabkan kesalahannya. Dia pasti tahu itu. Dia pasti juga berharap aku akan memaafkannya agar dia bisa pergi dengan tenang meninggalkan aku tanpa hati yang luka karenanya. Dia sudah dewasa dan memanjakanmu dengan amat sangat. Aku hanya kadang terlalu arogan dan tak menyadarinya. Tak pernah benar-benar menyadarinya. Aku hanya tidak ingin diabaikan. Aku mencintainya. Dia mencintaiku, maka aku ingin membiarkannya pergi membuang jenuhnya dan kembali padaku dengan segala hal yang aku tahu akan menjadi lebih baik.
'Hai, maaf aku harus berjanji lagi padamu tapi kali ini aku bersungguh-sungguh. Aku akan kembali padamu. Secepatnya. Dan itu pasti." Itu kata-katanya yang kau dengar saat detik terakhir kepergiaannya telah berdentang.
Kau tahu itu.
(Oleh: Beatta Mediani Rahmat, foto: weheartit.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR