"Kau istimewa, karena kau adalah anak Ayah dan ibu, bukan karena dapat melihat setan."
"Tidak, Ibu! Setan itulah yang memecahkan jendela dengan tangisnya. Setan itu pula yang mencuri tempe Ibu!"
Kami berdebat panjang soal kelima setan kecil itu. Kubilang mereka ada, Ibu bilang tidak. Kupanggil-panggil kelima setan itu agar Ibu percaya, namun mereka tak muncul-muncul jua. Hingga petang, aku kelilingi rumahku memanggili mereka. Menjelang Isya baru kulihat setan yang paling kecil muncul dari bawah kasurku sambil mengucek matanya. Empat lainnya muncul dari lubang kloset, televisi, vas bunga dan langit-langit rumah.
"Dari mana saja kalian? Seharian aku mencari!" kataku.
"Kami ketiduran," jawab yang paling besar.
Saat itu aku baru tahu, setan pun bisa tidur!
Kutarik mereka untuk menemui Ibu agar Ibu percaya, ada setan di rumah. Namun, mereka tidak mau. Bahkan, setan terkecil yang paling akrab denganku tak mau kuajak menemui Ibu. Kubujuk mereka, namun mereka tetap enggan. Aku menyerah dan membiarkan hidup (kematian) mereka tenang, tak tampak bagi Ayah dan Ibu. Setelah dewasa, aku bersyukur Ayah dan Ibu tak dapat melihat mereka. Mereka tentu akan ketakutan kalau menyadari memang ada setan di rumah.
Hari berganti dan aku tumbuh besar. Namun, setan-setan di rumahku tetap seperti saat aku mengenal mereka. Mereka masih kecil dan suka berlarian sekeliling rumah. Kadang, aku mengomel pada mereka karena tubuh dingin mereka menembusi tubuhku. Ya, mereka sudah bisa menembusi tubuh manusia. Ketika kecil, mereka tak pernah berlaku begitu padaku. Sekarang mereka semakin sering begitu. Ibu sering menegurku, juga Ayah.
"Jangan suka berbicara sendirian, Nak! Tidak baik!"
"Tapi, Bu, mereka menabrakku! Tubuh mereka dingin sekali!" sahutku.
Ibu menatapku begitu lama. Aku merasa ada yang dipikirkannya dalam-dalam. Lembut, ditariknya tanganku agar duduk di sampingnya.
"Kau benar-benar melihat setan?" tanyanya.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR