Ada setan di rumahku. Lima jumlahnya, kecil seperti diriku. Aku tahu, sebab aku melihat mereka. Tapi, Ayah dan Ibu tak tahu, karena mereka tak melihat. Aku melihat. Jelas dan nyata. Aku melihat satu menangis setelah tertabrak Ayah. Tangisnya makin jadi ketika satu kaki Ayah menumpukan berat badannya ke tubuh setan kecil itu. Tangisnya melengking dan memekakkan telinga hingga satu jendela pecah. Ayah berkata, jendela itu sudah tua dan rapuh, sudah waktunya diganti. Aku dilarang mendekati jendela dan harus memakai sandal karet sepanjang hari itu agar tak terluka.
Kukatakan pada Ayah, jendela pecah karena ia menginjak seorang anak hingga menangis! Ayah tak percaya dan menyuruhku tinggal di kamar. "Jangan dekati jendela, Nak!" pesan Ayah.
Ternyata, setelah terinjak Ayah, anak itu (aku belum tahu kalau ia setan) bersembunyi di bawah tempat tidurku. Di sana ia tersedu, sementara empat setan lainnya tengah membujuknya ke luar dari situ dan mengajak bermain lagi.
"Maafkan ayahku. Ia tak melihatmu," kataku.
Aku lalu ikut membujuknya seupaya berhenti nangis dan keluar dari bawah tempat tidurku, sebab aku hendak tidur siang. Ia terbujuk dan mau main lagi. Aku hendak diajaknya main, namun aku menolak, sebab harus tidur siang dan Ayah melarangku dekat-dekat jendela. Mereka pun berlarian tanpa aku. Satu setan, yang paling besar (mungkin juga paling tua di antara mereka) tidak ikut berlarian. Setelah kuperhatikan, ternyata kakinya cacat, bengkok sebelah.
Suatu pagi, Ibu mengeluh tempe gorengnya berkurang, padahal baru diangkat dari wajan. Ayah bilang, mungkin dimakan si Manis, kucing kecilku. Kataku, tidak mungkin. Manis tak suka tempe goreng, apalagi yang masih panas. Manis hanya suka ikan laut. Ayah dan Ibu tak jadi membuang si Manis. Mereka sepakat, tempe goreng itu dicuri kucing tetangga yang nakal.
Kulihat setan yang paling kecil berjongkok di bawah meja makan. Ada remah tempe goring di bibirnya. Sendawa dan kentutnya bau tempe. Kutanya, "Kenapa kau curi tempe Ibuku? Gara-gara kau, si Manis tak dapat jatah makan siang."
Ia menjawab dengan mulut bau tempe, "Aku lapar." Ternyata, sudah sepuluh tahun ia tak makan!
Kukorbankan sebatang cokelatku, kuberikan padanya. Sejak saat itu, ia tak pernah mencuri tempe lagi. Katanya, cokelat itu tak akan habis, bahkan hingga ia mati nanti . Tiba-tiba ia tertawa. Katanya, karena teringat bahwa sesungguhnya ia telah mati.
"Kapan rupanya kau mati?" tanyaku.
"Sejak lahir aku telah mati," jawabnya sambil kemudian tertawa karena menggunakan kata "lahir", sementara ia tak pernah terlahir.
"Bagaimana kau tahu kalau kau mati?"
"Kakak-kakakku yang bilang."
"Bagaimana mereka tahu kalau kau telah mati?"
"Karena aku sama dengan mereka."
"Bagaimana mereka tahu kalau mereka telah mati?"
"Karena kami tembus pandang, orang-orang tak dapat melihat kami, dan kami dapat melayang-layang. Nanti, bila telah bertambah beberapa tahun umur kami, kami dapat membuat tubuh kami menembusi tubuhmu."
"Aku dapat melihatmu, juga kakak-kakakmu. Kau bohong padaku!" bantahku
"Tidak! Kau dapat melihat setan karena kau istimewa. Bila kau ke rumah orang yang ada setannya, kau pun akan dapat melihat setan-setan itu."
Aku lalu berlari mencari Ibu.
"Ibu! Ibu! Aku bisa melihat setan karena aku istimewa!"
Ibu mengalihkan pandangan dari mesin jahitnya, menggendongku, lalu memangkuku di atas kasur. Ia mengusap-usap rambutku sambil tersenyum.
"Kau memang istimewa, Nak. Tapi, kau tak dapat melihat setan," ujarnya lembut.
"Aku istimewa karena dapat melihat setan!" ujarku kukuh.
"Kau istimewa, karena kau adalah anak Ayah dan ibu, bukan karena dapat melihat setan."
"Tidak, Ibu! Setan itulah yang memecahkan jendela dengan tangisnya. Setan itu pula yang mencuri tempe Ibu!"
Kami berdebat panjang soal kelima setan kecil itu. Kubilang mereka ada, Ibu bilang tidak. Kupanggil-panggil kelima setan itu agar Ibu percaya, namun mereka tak muncul-muncul jua. Hingga petang, aku kelilingi rumahku memanggili mereka. Menjelang Isya baru kulihat setan yang paling kecil muncul dari bawah kasurku sambil mengucek matanya. Empat lainnya muncul dari lubang kloset, televisi, vas bunga dan langit-langit rumah.
"Dari mana saja kalian? Seharian aku mencari!" kataku.
"Kami ketiduran," jawab yang paling besar.
Saat itu aku baru tahu, setan pun bisa tidur!
Kutarik mereka untuk menemui Ibu agar Ibu percaya, ada setan di rumah. Namun, mereka tidak mau. Bahkan, setan terkecil yang paling akrab denganku tak mau kuajak menemui Ibu. Kubujuk mereka, namun mereka tetap enggan. Aku menyerah dan membiarkan hidup (kematian) mereka tenang, tak tampak bagi Ayah dan Ibu. Setelah dewasa, aku bersyukur Ayah dan Ibu tak dapat melihat mereka. Mereka tentu akan ketakutan kalau menyadari memang ada setan di rumah.
Hari berganti dan aku tumbuh besar. Namun, setan-setan di rumahku tetap seperti saat aku mengenal mereka. Mereka masih kecil dan suka berlarian sekeliling rumah. Kadang, aku mengomel pada mereka karena tubuh dingin mereka menembusi tubuhku. Ya, mereka sudah bisa menembusi tubuh manusia. Ketika kecil, mereka tak pernah berlaku begitu padaku. Sekarang mereka semakin sering begitu. Ibu sering menegurku, juga Ayah.
"Jangan suka berbicara sendirian, Nak! Tidak baik!"
"Tapi, Bu, mereka menabrakku! Tubuh mereka dingin sekali!" sahutku.
Ibu menatapku begitu lama. Aku merasa ada yang dipikirkannya dalam-dalam. Lembut, ditariknya tanganku agar duduk di sampingnya.
"Kau benar-benar melihat setan?" tanyanya.
Aku mengangguk pasti.
"Kau bersumpah, mereka benar-benar ada?"
Sekali lagi aku menganggu.
"Berapa jumlah mereka?"
"Lima," jawabku.
"Adakah yang cacat kakinya?"
"Ada. Yang paling besar dan yang kedua."
Ibu terdiam sejenak. "Itu adalah kakakmu. Ibu menggugurkannya karena mengandung sebelum menikah. Setelah menggugurkan mereka, baru kutahu mereka kembar."
Kini giliran aku yang terdiam, terkejut karena setahuku aku anak tunggal.
"Lalu, adakah yang suka bermain bola dan boneka?"
"Ada. Yang suka bermain boneka adalah satu-satunya anak perempuan di antara setan-setan itu. Yang lainnya lelaki semua."
"Mereka juga kakak-kakakmu. Yang suka bermain bola mati tertabrak mobil. Yang perempuan mati diracun pamanmu karena ia iri, tak punya anak perempuan."
Sekali lagi aku terkejut. Mengapa Ibu tak pernah bercerita padaku?
"Lalu, yang paling kecil, Ibu yakin itu adalah adikmu. Ia mati dalam kandungan, karena Ibu sudah tidak kuat lagi mengandung."
Aku tak dapat berkata-kata lagi mendengar pengakuan Ibu yang dirahasiakannya dariku selama belasan tahun.
"Kenapa Ibu tak pernah cerita padaku?"
Ibu menghela napas beberapa kali.
"Ibu tak ingin mengingat kenangan pahit itu. Bukan karena Ibu tak cinta pada mereka seperti Ibu mencintaimu. Kehilangan mereka begitu pahit bagi Ibu."
Ibu menundukkan kepala dalam-dalam. Kutahu, ia berusaha menyembunyikan tangisnya. Kutinggalkan Ibu diam-diam dan kembali ke kamarku. Kelima setan itu ternyata sedang bermain-main dengan boneka-bonekaku. Begitu melihatku, mereka berhamburan berebut memelukku dengan tubuh dingin mereka.
"Ayo kita bermain! Ayo kita bermain!"
Mereka menjerit-jerit senang sambil menarik-narik tanganku. Aku tersenyum dalam bekapan dingin tubuh mereka.
***
Untuk perempuan cantik yang menunggui rumahku dan berbaik hati menampakkan diri untuk menyewakan rumahku agar tak kosong.
(oleh: uliana dewi irwandani, foto: cielanberlin.tumblr.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR