"Iya, Bu," Monic mengangguk dan memapah tubuh Aviceena keluar kelas.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di UKS. Aviceena merebahkan diri di atas ranjang bersprai putih, sementara Monic duduk di kursi di sebelahnya.
"Lo balik saja ke kelas, Nic," usul Aviceena. "Nanti lo ketinggalan pelajaran."
"Enggak apa-apa kok. Gue mau temenin lo di sini," Monic tersenyum tulus.
"Lo pergi saja deh, gue mau istirahat nih."
Monic akhirnya menyerah. Daripada menganggu waktu istirahat temannya yang sedang sakit, lebih baik dia kembali ke kelas. Meskipun demikian, ketika sampai di kelas dia benar-benar menyesal telah meninggalkan UKS. Pasalnya, ocehan panjang Bu Bertha semakin lama, semakin membosankan.
Tiga puluh menit kemudian bel pergantian pelajaran berbunyi dengan nyaring. Monic menghela napas lega tapi langsung cemberut lagi karena Bu Bertha menugaskan mereka setumpuk PR.
"Aviceena kenapa sih?" tanya Betty, anak perempuan di belakang kursi Monic.
"Dia sakit perut," jawab Monic, menoleh ke belakang dan bingung melihat wajah Betty yang tampak kesal.
"Bu Mimin bilang hari ini dia berhalangan hadir jadi kita di kasih tugas buat ngebahas tentang fair trade dengan kelompok masing-masing," kata Irma, teman sebangku Betty. "Setelah diskusi, kita juga harus bikin makalah buat dikumpulin di akhir jam pelajaran. Masak Aviceena enggak ikut kerja sih?"
Kini Monic tahu alasan teman-temannya berwajah cemberut. Aviceena memang selalu cari-cari alasan untuk menghindari kerja kelompok. Sebenarnya, tidak akan ada kelompok yang mau menerima Aviceena kalau bukan Monic yang membujuk kawan-kawannya. Tapi kali ini alasannya berbeda. Aviceena sedang sakit, masak harus dipaksa juga?
"Kita kan bisa diskusi bertiga saja," usul Monic.
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR