Monic selalu geleng-geleng kepala setiap kali menghadapi sikap teman sebangkunya yang nyentrik. Pasalnya, segala sesuatu dalam diri Aviceena benar-benar nyeleneh dari kebanyakan orang. Mulai dari sikap, perilaku sampai gaya bicaranya sangat berbeda dari kawan-kawannya yang lain. Anehnya, kadang Monic mengakui bahwa sahabatnya itu bisa dikatakan cerdik bahkan brilian.
Semua orang di sekolahnya selalu bingung tujuh puluh keliling melihat hal-hal aneh yang terjadi pada diri Aviceena.
Suatu hari, gadis berambut pendek itu datang terlambat ke sekolah dengan muka kucel dan rambut acak-acakan. Namun pada jam istirahat, mendadak saja penampilan Aviceena menjadi cemerlang! Berubah seratus delapan puluh derajat.
"Tadi gue bangun kesiangan dan enggak sempet mandi," begitulah jawaban Aviceena begitu Monic menanyakan rahasia sihirnya. "Jadi gue bawa saja sabun, odol, sikat gigi dan handuk kecil ke dalam tas. Terus gue mandi di toilet sekolah waktu jam istirahat."
Aviceena memang tidak mau rugi, pikir Monic. Hal itu bukan satu-satunya alasan yang membuat Monic berpikiran begitu. Aviceena memang tahu betul bagaimana caranya memanfaatkan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Motto hidup Aviceena adalah: Ngapain bayar sekolah mahal-mahal cuma buat belajar doang? Semua siswa kan berhak menikmati fasilitas sekolah! Aviceena tidak pernah ke warnet untuk chatting, browsing atau mengerjakan tugas sekolah yang membutuhkan fasilitas internet.
"Buat apa ke warnet? Di sekolah kita kan komputernya sudah lengkap pakai akses internet. Tunggu aja sebentar sampai salah satunya kosong dan pakai! Gampang, kan?"
Lagi-lagi Monic menggelengkan kepala mendengar pengakuan itu. Bukan hal baru baginya mendengar ide-ide aneh kawan sebangkunya. Sudah lama dia tahu bahwa Aviceena tidak pernah membeli buku meskipun hobinya adalah membaca.
"Kok bisa?"
"Kan ada perpustakaan, bego!" jawabnya berang, karena waktu itu Aviceena sedang serius membaca buku Harry Potter favoritnya.
Monic menghela napas panjang. Perbedaan memang membuat hidup jadi lebih berwarna, tapi perbedaan semencolok itu tentunya sangat mengganggu. Aviceena mulai dijauhi oleh teman-temannya yang lain karena sikapnya yang terkesan cuek dan masa bodoh terhadap pendidikan. Para guru juga banyak yang kesal karena Aviceena tergolong anak bandl. Dia tersohor murid paling malas, sering bolos, hobi terlambat dan gemar tidur di kelas saat pelajaran sedang berlangsung. Monic sendiri pernah jadi korban saat guru kimia yang galak mengetahui Aviceena sedang tidur di kelasnya. Guru itu melempar penghapus papan tulis untuk membangunkannya, tapi Aviceena berhasil menghindar. Alhasil, Moniclah yang kena hantaman 'peluru nyasar' tersebut.
Tapi misteri yang makin membuat semua orang gemas adalah kenyataan bahwa nilai-nilai Aviceena tidak buruk. Dia menguasai segala mata pelajaran, kecuali olahraga tentunya. Karena Aviceena selalu bersembunyi di toilet sekolah sambil membaca buku untuk menghindari pelajaran yang melelahkan itu.
***
Pelajaran pertama pada hari Selasa yang cerah itu sungguh membosankan bagi Monic. Bu Bertha mengoceh tanpa henti di depan kelas, tidak menyadari bahwa seluruh muridnya hampir mati saking bosannya. Monic melirik teman sebangkunya, berharap Aviceena bisa memberikan trik untuk mengatasi kesun-tukannya. Namun betapa terkejutnya Monic ketika melirik gadis itu.
Aviceena tampak pucat. Tangannya mencengkram perut dan tampak kernyit kecil didahinya tanda kesakitan. Dia merintih pelan sementara air mata mulai mengalir dipipinya.
"Aviceena, lo kenapa?" tanya Monic, khawatir.
"G-gue sakit perut," dia merintih.
"Gu antar ke UKS, ya?"
Aviceena hanya mengangguk pasrah.
"Bu Bertha!" panggil Monic seraya bangkit dari tempat duduknya. "Aviceena sakit."
Bu Bertha yang sedang berkicay tentang perang dunia dengan menggebu-gebu seolah dirinya ikut terlibat, terpaksa menhentikan ocehannya. Dia beranjak menuju bangku Monic dan Aviceena di jajaran belakang.
"Kamu sakit apa, Na?" tanyanya lembut seraya menempelkan tangannya didahi Aviceena.
"Sakit perut, Bu," isaknya.
"Ya sudah, lebih baik kamu istirahat di UKS," ujar Bu Bertha, lalu berpaling kepada Monic. "Kamu antar dia, ya?"
"Iya, Bu," Monic mengangguk dan memapah tubuh Aviceena keluar kelas.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di UKS. Aviceena merebahkan diri di atas ranjang bersprai putih, sementara Monic duduk di kursi di sebelahnya.
"Lo balik saja ke kelas, Nic," usul Aviceena. "Nanti lo ketinggalan pelajaran."
"Enggak apa-apa kok. Gue mau temenin lo di sini," Monic tersenyum tulus.
"Lo pergi saja deh, gue mau istirahat nih."
Monic akhirnya menyerah. Daripada menganggu waktu istirahat temannya yang sedang sakit, lebih baik dia kembali ke kelas. Meskipun demikian, ketika sampai di kelas dia benar-benar menyesal telah meninggalkan UKS. Pasalnya, ocehan panjang Bu Bertha semakin lama, semakin membosankan.
Tiga puluh menit kemudian bel pergantian pelajaran berbunyi dengan nyaring. Monic menghela napas lega tapi langsung cemberut lagi karena Bu Bertha menugaskan mereka setumpuk PR.
"Aviceena kenapa sih?" tanya Betty, anak perempuan di belakang kursi Monic.
"Dia sakit perut," jawab Monic, menoleh ke belakang dan bingung melihat wajah Betty yang tampak kesal.
"Bu Mimin bilang hari ini dia berhalangan hadir jadi kita di kasih tugas buat ngebahas tentang fair trade dengan kelompok masing-masing," kata Irma, teman sebangku Betty. "Setelah diskusi, kita juga harus bikin makalah buat dikumpulin di akhir jam pelajaran. Masak Aviceena enggak ikut kerja sih?"
Kini Monic tahu alasan teman-temannya berwajah cemberut. Aviceena memang selalu cari-cari alasan untuk menghindari kerja kelompok. Sebenarnya, tidak akan ada kelompok yang mau menerima Aviceena kalau bukan Monic yang membujuk kawan-kawannya. Tapi kali ini alasannya berbeda. Aviceena sedang sakit, masak harus dipaksa juga?
"Kita kan bisa diskusi bertiga saja," usul Monic.
"Enggak bisa begitu dong!" keluh Betty.
"Lebih baik kita susul ke UKS, siapa tahu dia sudah sembuh, " Irma mengusulkan.
Monic akhirnya setuju. Mereka bertiga bersama-sama mengarahkan langkah menuju UKS. Betapa terkejutnya mereka begitu menemukan Aviceena tengah tidur-tiduran santai di ranjangnya sambil membaca majalah.
"Ngapain kalian ke sini?" tanyanya cuek.
"Bukannya lo lagi sakit, Na?" Monic balas bertanya kebingungan.
"Enggak, gue cuma pura-pura doang. Habis pelajaran Bu Bertha ngebetein banget," Ketiga temannya menggeram kesal. Ternyata selama ini Aviceena menyembunyikan bakat terpendam, acting!
"Kalau begitu sekarang lo harus ke kelas," kata Betty. "Kita harus kerja kelompok buat bikin makalah tentang fair trade."
"Muales!" dia menjawab seenaknya. "Gue mau tidur lagi. Masih ngantuk!"
Aviceena menguap.
"Enggak boleh!" bentak Irma.
"Pokoknya lo harus ikut kerja!" Betty mengomel.
"Atau lo bakal dikeluarin dari kelompok!"
"Terserah," kuap Aviceena.
Monic hanya duduk diam menyaksikan teman-temannya bertengkar. Dia sudah jenuh menghadapi sikap Aviceena yang masa bodoh. Pantas saja hanya Monic yang mau berteman dengannya. Memang dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi makhluk sejenis Aviceena.
Setelah perdebatan seru selama sepuluh menit, Aviceena akhirnya menyerah. Dengan enggan, dia mengayunkan kaki menuju kelas bersama Monic, Betty dan Irma.
"Fair trade adalah suatu gerakan bersama untuk mendapatkan kesejajaran dalam perdagangan internasional bagi semua oarng, "Monic menjelaskan ketika mereka berempat telah duduk berhadap-hadapan di bangku masing-masing.
"Karena para petani dan pedagang kecil selama ini menderita kerugian akibat barang-barang mereka dibeli dengan harga murah oleh produsen. Padahal para produsen nantinya akan menjual produk itu dengan harga mahal ke konsumen."
"Itu enggak adil!" Betty berseru. "Kita harus bertindak untuk memerangi ketidakdilan itu!"
"Selain itu, akibat peraturan global yang diciptakan demi kepentingan sekelompok negara-negara maju, produk kita enggak bisa dijual ke negara maju padahal negara itu juga menjual produk mereka ke negara kita!" ujar Irma.
"Lo kasih pendapat dong, Na!" ujar Betty.
Aviceena malah menguap.
"Kenapa dari tadi diam saja? Mau pura-pura sakit perut lagi ya?"
Aviceena yang tampak kesal, bangkit dari kursinya dan menghela napas panjang.
"Kalian mau dengar pendapat gue?"
"Tentu saja!" sahut merka berbarengan.
"Menurut gue kalian itu bego!"
Monic yang tadinya telah bersemangat mendengar pendapat Aviceena, kini mengeluh kesal.
"Itu namanya bukan pendapat!" bentak Betty. "Itu penghinaan!"
"Kenapa lo bisa anggap kita bertiga bego?"
"Baik, gue kasih tau alasannya," kata Aviceena. Dia meraup barang barang di atas meja dan menunjukkannya satu persatu. "Karena segala sesuatu yang kalian omongin Cuma sekedar teori. Lihat penghapus Betty!"
Dia menunjuk merek penghapus itu.
"Penghapus itu diimpor dari negara lain!" sambungnya. "Coba perhatikan tasnya Irma! Benda itu juga bukan buatan Indonesia!"
Tanpa diduga, Aviceena menunduk dan menyambar sepatu pantople dari kaki Monic. Dia meletakkan benda itu di atas meja dan mulai melanjutkan pidatonya yang terpotong.
"Bahkan sepatu yang nempel di kaki Monic juga bukan produk lokal! Itu buatan luar ngeri, padahal di Indonesia juga banyak pabrik sepatu! Dan coba lihat makanan di rumah kalian! Teh impor, kopi impor, emangnya di Indonsia enggak ada yang jadi petani?" Aviceena melanjutkan dengan emosi sambil memukul-mukul meja dengan sepatu Monic. "Jadi kalian ngerti? Percuma kita ngomong sampai mulut berbusa tentang fair trade kalau kita sendiri enggak ikut mempraktekkannya. Di situlah letak kesalahan kalian! Kampanye sampai monyong, nyuruh orang-orang mencintai produk dalam negeri sementara kalian sendiri asyik gaya-gayaan pakai produk impor. Senang-senang di atas penderitaan orang lain! Kalau kita enggak cinta sama produk Indonesia, para petani dan pedagang kecil di negeri ini akan tetap melarat untuk selama-lamanya!"
Ketiga temannya melongo menatap Aviceena. Mata mereka terbeliak, entah karena kaget atau kagum. Yang jelas, pribadi unik seperti Aviceena sangat sulit dimengerti. Tapi kalau lebih dicermati, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu memang mengandung kebenaran.
"Gue sudah kasih pendapat, kan?" kata Aviceena. "Jadi sekarang jangan gangguin gu, ya? Gue mau tidur lagi di UKS."
Dia ngeloyor pergi dari kelas sambil menguap, meninggalkan teman-temannya yang masih membatu seperti monument.
(Oleh: Nadia Helena, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR