"Terserah," kuap Aviceena.
Monic hanya duduk diam menyaksikan teman-temannya bertengkar. Dia sudah jenuh menghadapi sikap Aviceena yang masa bodoh. Pantas saja hanya Monic yang mau berteman dengannya. Memang dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi makhluk sejenis Aviceena.
Setelah perdebatan seru selama sepuluh menit, Aviceena akhirnya menyerah. Dengan enggan, dia mengayunkan kaki menuju kelas bersama Monic, Betty dan Irma.
"Fair trade adalah suatu gerakan bersama untuk mendapatkan kesejajaran dalam perdagangan internasional bagi semua oarng, "Monic menjelaskan ketika mereka berempat telah duduk berhadap-hadapan di bangku masing-masing.
"Karena para petani dan pedagang kecil selama ini menderita kerugian akibat barang-barang mereka dibeli dengan harga murah oleh produsen. Padahal para produsen nantinya akan menjual produk itu dengan harga mahal ke konsumen."
"Itu enggak adil!" Betty berseru. "Kita harus bertindak untuk memerangi ketidakdilan itu!"
"Selain itu, akibat peraturan global yang diciptakan demi kepentingan sekelompok negara-negara maju, produk kita enggak bisa dijual ke negara maju padahal negara itu juga menjual produk mereka ke negara kita!" ujar Irma.
"Lo kasih pendapat dong, Na!" ujar Betty.
Aviceena malah menguap.
"Kenapa dari tadi diam saja? Mau pura-pura sakit perut lagi ya?"
Aviceena yang tampak kesal, bangkit dari kursinya dan menghela napas panjang.
"Kalian mau dengar pendapat gue?"
"Tentu saja!" sahut merka berbarengan.
"Menurut gue kalian itu bego!"
Monic yang tadinya telah bersemangat mendengar pendapat Aviceena, kini mengeluh kesal.
"Itu namanya bukan pendapat!" bentak Betty. "Itu penghinaan!"
"Kenapa lo bisa anggap kita bertiga bego?"
"Baik, gue kasih tau alasannya," kata Aviceena. Dia meraup barang barang di atas meja dan menunjukkannya satu persatu. "Karena segala sesuatu yang kalian omongin Cuma sekedar teori. Lihat penghapus Betty!"
Dia menunjuk merek penghapus itu.
"Penghapus itu diimpor dari negara lain!" sambungnya. "Coba perhatikan tasnya Irma! Benda itu juga bukan buatan Indonesia!"
Tanpa diduga, Aviceena menunduk dan menyambar sepatu pantople dari kaki Monic. Dia meletakkan benda itu di atas meja dan mulai melanjutkan pidatonya yang terpotong.
"Bahkan sepatu yang nempel di kaki Monic juga bukan produk lokal! Itu buatan luar ngeri, padahal di Indonesia juga banyak pabrik sepatu! Dan coba lihat makanan di rumah kalian! Teh impor, kopi impor, emangnya di Indonsia enggak ada yang jadi petani?" Aviceena melanjutkan dengan emosi sambil memukul-mukul meja dengan sepatu Monic. "Jadi kalian ngerti? Percuma kita ngomong sampai mulut berbusa tentang fair trade kalau kita sendiri enggak ikut mempraktekkannya. Di situlah letak kesalahan kalian! Kampanye sampai monyong, nyuruh orang-orang mencintai produk dalam negeri sementara kalian sendiri asyik gaya-gayaan pakai produk impor. Senang-senang di atas penderitaan orang lain! Kalau kita enggak cinta sama produk Indonesia, para petani dan pedagang kecil di negeri ini akan tetap melarat untuk selama-lamanya!"
Ketiga temannya melongo menatap Aviceena. Mata mereka terbeliak, entah karena kaget atau kagum. Yang jelas, pribadi unik seperti Aviceena sangat sulit dimengerti. Tapi kalau lebih dicermati, kata-kata yang keluar dari mulut gadis itu memang mengandung kebenaran.
"Gue sudah kasih pendapat, kan?" kata Aviceena. "Jadi sekarang jangan gangguin gu, ya? Gue mau tidur lagi di UKS."
Dia ngeloyor pergi dari kelas sambil menguap, meninggalkan teman-temannya yang masih membatu seperti monument.
(Oleh: Nadia Helena, foto: imgfave.com)
Penulis | : | Astri Soeparyono |
Editor | : | Astri Soeparyono |
KOMENTAR